Selasa, 12 Maret 2013

 Cara Mendapatkan Uang dari Blog

Cara Mendapatkan Uang dari Blog

      Sebuah blog bisa menghasilkan uang, tentu banyak blogger yang sudah membuktikannya. Dari hobi menulis dan berbagi ide dan pengalaman di blog bisa mendapatkan penghasilan bukanlah hal yang mustahil. Karena sudah banyak terbukti hanya gara-gara ngeblog mendapatkan penghasilan yang tidak sedikit.

Pada dasarnya jika dilihat cara mendapatkan (penghasilan) dari blog, ada 2 cara. Yaitu secara langsung dan tidak langsung. Kita bahas yang secara tidak langsung terlebih dahulu, maksudnya adalah karena gara-gara rajin ngeblog orang tersebut bisa mendapatkan uang. Contoh yang sukses adalah Raditya Dika, yang berawal dari menulis di blognya dengan tulisan yang jenaka, dia bisa menjadi seleb blog yang kemudian merambah ke dunia nyata.

Tentu masih banyak lagi blogger yang berhasil mendapatkan materi dari kegiatan yang membutuhkan ide kreatif ini. Karena tulisan-tulisan yang menariknya di suatu bidang tertentu dia bisa diundang menjadi pembicara, blogger yang hobby traveling bisa menuliskan pengalamannya di blog dan menjadikan buku. Biasanya blogger yang memiliki kreativitas tinggi, dan mampu membuat konten yang unik di blognya bisa menjadi terkenal dan yang secara langsung dan tidak langsung bisa mendapatkan uang gara-gara ngeblog.

Kemudian cara mendapatkan uang dari blog secara langsung. Cara ini banyak dipakai oleh kebanyakkan blogger. Yang dimaksud adalah, dengan memanfaatkan dengan menyediakan ruang (space) dari blognya untuk menampilkan iklan atau mengikuti lomba blog. Berikut adalah beberapa cara untuk mendapatkan uang dari blog secara langsung tersebut:
  1. Menambahkan iklan di blog. Dengan banyak tulisan (konten) yang sudah kita buat dan publikasikan di blog bisa mendatangkan traffick atau pengunjung. Sehingga blog kita bisa untuk menampilkan iklan. Dari mana orang mau memasang iklan di blog kita? Tidak usah khawatir, kita bisa memanfaatkan pihak ketiga, biasanya blogger memasang iklan dari agency iklan online, semisal ada; kliksaya.com, kumpulblogger.com, adsensecamp.com, sitti.co.id, idblognetwork.com dan Google Adsense. Jumlah uang yang didapatkan dari blog, dihitung berdasarkan jumlah klik iklan yang ditampilkan atau dikenal dengan istilah PPC (Pay Per Click).
  2. Mengikuti lomba blog. Dunia blogging semakin ramai, dan banyak kegiatan-kegiatan online yang memanfaatkan blog. Salah satu yang bisa kita manfaatkan untuk mendapatkan uang dari blog adalah dengan mengikuti lomba blog. Semakin hari semakin banyak lomba blog yang berhadiah cukup lumayan. Lomba blog biasanya ada 2 jenis, yaitu lomba blog untuk SEO dan kreativitas menulis. Kebanyakan lomba yang diselenggarakan adalah jenis lomba blog yang menutut kreativitas blogger dalam menulis. 
Jadi jika ada pertanyaan, Apakah dengan ngeblog bisa mendapatkan uang? Jawabnya bisa. Lalu, bagaimana cara mendapatkan uang dari blog? Ada berbagai cara, berdasarkan pengalaman dan pengamatan, di atas adalah cara-cara mendapatkan uang (penghasilan) dari blog. Apakah blogger bisa dijadikan profesi tetap untuk mendapatkan penghasilan? Hanya sedikit yang berani dan mau, tidak tahu ke depannya bagaimana, tetapi konten tetap bisa memiliki nilai jual.

Tergantung motivasi apa yang mendasari dalam ngeblog, yang jelas kreativitas, keunikan menjadi penting. Jika kita menganggap ngeblog adalah sebagai hobi, kegiatan sampingan, passion (kesukaan) kita, ya jalani saja dengan sungguh-sungguh dan dengan hati. Kalau pun kita bisa mendapatkan uang dari blog, itulah bonusnya, kalau pun tidak mendapatkan juga tidak akan mengurangi semangat ngeblog.



Sumber: http://kurniasepta.blogspot.com/2012/09/cara-mendapatkan-uang-dari-blog.html

Gadis Idaman 

 

Dahi yang ditumbuhi sebuah jerawat tampak lebih mengkilat dari biasanya. Sinar lampu sorot dari atas balkon yang mengarah ke altar yang telah membuat lebih indah sesuatu yang sebenarnya memang sudah tampak indah. Seorang gadis di deretan bangku depan dengan mata besar dan alis yang lebat sudah lama memikat hatinya. Dia selalu melihat ada kilat basah pada kedua matanya itu. Dia yakin kalau gadis itu selalu berdoa dengan sungguh-sungguh. Pun ketika melantunkan lagu-lagu pujian. Tampaknya ada semacam kerinduan yang mendalam dari gadis itu kepada Tuhan. Lantas dia merasa harus mengenal gadis itu sesegera mungkin. Ya, sesegera mungkin.

"Shalom," sapanya sembari tersenyum ketika gadis itu baru saja hendak mendaratkan sebelah kakinya dari anak tangga ke lantai dasar. Degup jantung lantas dirasa lebih cepat, sebab sebentar lagi dia akan bisa memandang mata besar yang senantiasa basah dan dahi yang tampak berkilat dengan sangat jelas.

“Shalom.” Gadis itu kaget dan tersipu. Sungguh pemandangan yang terjadi seperti dalam film-film romantis tahun 70an di mana istilah malu-malu kucing atau jinak-jinak merpati sering didengar. Hanya saja ada sebuah pertanyaan membuat segalanya berbeda.

“Ada apa, Kak?”

Lelaki muda itu menelan ludah sebelum bercerita panjang lebar tentang ketertarikan dirinya kepada gadis itu. Terlebih dia sudah berulang kali melihat gadis itu menangis ketika berdoa. Lantas dia mengulurkan tangan sambil menyebutkan nama sambil berharap gadis itu pun melakukan hal yang sama.

“Anjas.” Sekali lagi diucapkan namanya. Kali ini terasa lebih tegas karena gadis itu tak menyambut uluran tangannya terlebih mengucapkan nama. Dan dia kembali termangu ketika tiba-tiba yang dihadapinya hanyalah kekosongan, karena gadis itu berlari menjauh.

Minggu berikutnya, dia masih menjumpai pemandangan yang sama. Gadis di deretan bangku depan, hanya saja jerawat di dahinya sudah tidak ada. Makin sempurna kecantikannya, demikian pikirnya. Tiba-tiba dia seperti disadarkan sudah beberapa minggu dia datang ke gereja untuk melihat gadis itu dan hal itu membuatnya tidak khusyuk berdoa kepada Tuhan. Pandangannya kini menghujam di lantai keramik. Di depan, pendeta yang sedang berkotbah mengumumkan ‘altar call’. Dan ujung matanya menangkap gadis itu beranjak dari bangkunya.

“Shalom, Kak Anjas.”

Dia dikejutkan dengan sapaan yang pernah didengarnya. Hanya saja kali ini ada nada riang dari sapaan itu, tidak seperti waktu dia mendengar jawaban yang terbata-bata dan penuh kemuraman. Dilihatnya gadis idamannya sudah berdiri di depannya dan mengulurkan tangan kepadanya. Menanti disambut.

“Hana.”

Demikianlah sebuah nama meluncur dari bibirnya. Dia masih tidak percaya. Matanya menatap ke arah mata besar yang masih menyisakan kilat basah karena menangis. Perlahan tapi kemudian menjadi gerak yang cepat dan agak tergopoh, dia menyambut tangan gadis yang kini telah bernama baginya.

“Shalom, Hana.”

Senyumnya pun mengembang. Tangan yang dijabatnya kemudian terasa terayun ke belakang, tanda minta dilepaskan dari jabatan tangannya, membuat dia merasa malu telah terlena.

Tak lama keduanya pun mulai bertukar kisah tentang berapa lama berbakti di gereja itu, sekolah di mana, dan keluarga dengan akrab. Sementara di luar, angin yang membawa awan mendung melempar-lempar sebuah daun dari jalan ke halaman gereja.

+++

“Aku ingin kamu mendengar sebuah cerita, Mas.”

Hana menatap Anjas dengan tatapan yang sangat memelas. Yang ditatap merasa sangat kaget dengan tatapan seperti itu. Seharusnya suasana di antara mereka berdua adalah suasana yang indah, karena kurang dari tiga bulan lagi Anjas berjanji akan membawa keluarganya untuk meminta Hana sebagai istrinya.

“Tapi sebelumnya, aku minta kamu berjanji untuk tidak marah.”

Mendengar kalimat kedua yang keluar dari mulut kekasihnya membuat ia berpikir bahwa Hana akan menyampaikan sesuatu yang buruk. Sesuatu yang bisa dianggap sebagai rahasia seorang gadis semanis dia. Dia mencoba menatap dalam-dalam ke mata Hana yang masih memancarkan rasa cemas.

Lidahnya terasa kelu untuk mengiyakan atau menolak permintaan Hana. Dia masih berpikir Hana akan membuat satu pengakuan. Mungkin pengakuan yang pernah dia dengar dari kawan-kawannya tentang seorang gadis yang mengaku kalau dirinya tidak perawan lagi ketika hendak menikah. Dia menarik nafas dalam-dalam. Sungguh, dia tidak punya alasan untuk marah atau tidak. Dan dia pun tidak mengerti apakah dia harus kecewa atau menghadapi hal semacam itu dengan biasa-biasa saja. Lagi-lagi dia hanya bisa menatap mata Hana. Sepasang mata yang bulat besar dan selalu memancarkan kilat basah. Mata yang telah mengikatnya pada enam bulan perjalanan cinta gadis dan jejaka.

“Apakah …”

Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Dia tidak mampu bertanya lebih lanjut. Sejujurnya dia menunggu reaksi dari dirinya sendiri apabila sangkaannya itu benar adanya. Mata itu masih menatap lekat kepadanya. Pasrah. Benar-benar basah.

Dilihatnya Hana pun hanya mengangguk lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela. Cahaya matahari membuat wajahnya tampak lebih terang. Dia menghela nafas panjang. Seperti tengah melepas beban yang sangat berat. Tapi kemudian yang terjadi adalah Hana berdiri dan melangkah ke arah pintu.

“Kak. Kenapa kamu tidak bertanya apa yang membuat aku tidak perawan lagi?”

Hana mulai menangis. Sementara dia menduga Hana, dengan pertanyaannya itu, sudah pasti menganggapnya egois. Sama seperti lelaki lain yang menginginkan gadis idamannya masih dalam keadaan suci ketika dinikahi. Seperti Shinta, seorang dewi yang dijaga kesuciannya selama diculik oleh raja raksasa Rahwana dan juga lolos tanpa luka di hari pembakaran api suci oleh suaminya Rama. Padahal dia hanya merasakan kebimbangan untuk bersikap. Apakah dia akan mencontoh kelembutan ucapan Isa saaat bertemu seorang pelacur Samaria di tepi sumur atau ia akan ikut menangis bersama calon istri yang dicintainya dan menganggap dunia memang begitu jahat.

Dia membiarkan Hana melangkah keluar rumah tanpa berusaha mencegahnya. Dia tidak ingin merusak kesedihan, karena kesedihan adalah ruangan yang paling dekat dengan ruang Tuhan. Maka dibiarkannya Hana membawa pulang kesedihannya sebagaimana dia mengundang masuk kesedihannya sendiri ke dalam hati.

Pagi hari, ketika dia mencabut charger telepon genggamnya, dia menemukan sejumlah pesan pendek yang belum terbaca. Semuanya dari Hana. Salah satu pesan pendek yang membuatnya begitu bahagia adalah tentang doa dan pengampunan dari Hana untuk orang-orang yang telah memperkosanya beberapa tahun silam. Kini dia tahu betapa Hana lebih baik dari wanita-wanita yang pernah dia baca kisah-kisahnya. Hana baginya adalah gadis idaman yang paling dia dambakan.

Sumber: http://kumcer-dedy.blogspot.com/

Hati Seorang Ayah

 

 


Suatu ketika, ada seorang anak perempuan yang bertanya kepada ayahnya, tatkala tanpa sengaja dia melihat ayahnya sedang mengusap wajahnya yang mulai berkerut-merut dengan badannya yang terbongkok-bongkok, disertai suara batuk-batuknya.

Anak perempuan itu bertanya pada ayahnya : "Ayah, mengapa wajah ayah kian berkerut-merut dengan badan ayah yang kian hari kian membongkok ?"

Demikian pertanyaannya, ketika ayahnya sedang berehat di beranda.

Si ayah menjawab : "Sebab aku lelaki."

Anak perempuan itu berkata sendirian : "Saya tidak mengerti".

Dengan kerut-kening kerana jawapan ayahnya membuatnya termenung rasa kebingungan.

Ayah hanya tersenyum, lalu dibelainya rambut anaknya itu, terus menepuk-nepuk bahunya, kemudian si ayah mengatakan : "Anakku, kamu memang belum mengerti tentang lelaki."

Demikian bisik Si ayah, yang membuat anaknya itu bertambah kebingungan.

Kerana perasaan ingin tahu, kemudian si anak itu mendapatkan ibunya lalu bertanya kepada ibunya : "Ibu, mengapa wajah Ayah jadi berkerut-merut dan badannya kian hari kian membongkok? Dan sepertinya ayah menjadi demikian tanpa ada keluhan dan rasa sakit ?"

Ibunya menjawab : "Anakku, jika seorang lelaki yang benar-benar bertanggungjawab terhadap keluarga itu memang akan demikian."

Hanya itu jawapan si ibu. Si anak itupun kemudian membesar dan menjadi dewasa, tetapi dia tetap juga masih tercari-cari jawapan, mengapa wajah ayahnya yang tampan menjadi berkerut-merut dan badannya menjadi membongkok?

Hingga pada suatu malam, dia bermimpi. Di dalam impian itu seolah- olah dia mendengar suara yang sangat lembut, namun jelas sekali. Dan kata-kata yang terdengar dengan jelas itu ternyata suatu rangkaian kalimah sebagai jawapan rasa kebingungannya selama ini.

"Saat Ku-ciptakan lelaki, aku membuatnya sebagai pemimpin keluarga serta sebagai tiang penyangga dari bangunan keluarga, dia senantiasa akan berusaha untuk menahan setiap hujungnya, agar keluarganya merasa aman, teduh dan terlindung."

"Ku ciptakan bahunya yang kuat dan berotot untuk membanting- tulang menghidupi seluruh keluarganya dan kegagahannya harus cukup kuat pula untuk melindungi seluruh keluarganya."

"Ku berikan kemahuan padanya agar selalu berusaha mencari sesuap nasi yang berasal dari titisan keringatnya sendiri yang halal dan bersih, agar keluarganya tidak terlantar, walaupun seringkali dia mendapat cercaan dari anak-anaknya".

"Ku berikan keperkasaan dan mental baja yang akan membuat dirinya pantang menyerah, demi keluarganya dia merelakan kulitnya tersengat panasnya matahari, demi keluarganya dia merelakan badannya berbasah kuyup kedinginan dan kesejukan kerana tersiram hujan dan dihembus angin, dia relakan tenaga perkasanya dicurahkan demi keluarganya, dan yang selalu dia ingat, adalah disaat semua orang menanti kedatangannya dengan mengharapkan hasil dari jerih- payahnya."

"Kuberikan kesabaran, ketekunan serta kesungguhan yang akan membuat dirinya selalu berusaha merawat dan membimbing keluarganya tanpa adanya keluh kesah, walaupun disetiap perjalanan hidupnya keletihan dan kesakitan kerapkali menyerangnya".

"Ku berikan perasaan cekal dan gigih untuk berusaha berjuang demi mencintai dan mengasihi keluarganya, didalam suasana dan situasi apapun juga, walaupun tidaklah jarang anak-anaknya melukai perasaannya, melukai hatinya.

Padahal perasaannya itu pula yang telah memberikan perlindungan rasa aman pada saat dimana anak-anaknya tertidur lelap. Serta sentuhan perasaannya itulah yang memberikan kenyamanan bila saat dia sedang menepuk-nepuk bahu anak-anaknya agar selalu saling menyayangi dan saling mengasihi sesama saudara."

"Ku berikan kebijaksanaan dan kemampuan padanya untuk memberikan pengertian dan kesedaran terhadap anak-anaknya tentang saat kini dan saat mendatang, walaupun seringkali ditentang bahkan dikotak-katikkan oleh anak-anaknya."

"Ku berikan kebijaksanaan dan kemampuan padanya untuk memberikan pengetahuan dan menyedarkan, bahawa isteri yang baik adalah isteri yang setia terhadap suaminya, isteri yang baik adalah isteri yang senantiasa menemani, dan bersama-sama menghadapi perjalanan hidup baik suka mahupun duka, walaupun seringkali kebijaksanaannya itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada isteri, agar tetap berdiri, bertahan, sepadan dan saling melengkapi serta saling menyayangi."

"Ku berikan kerutan diwajahnya agar menjadi bukti, bahawa lelaki itu senantiasa berusaha sekuat daya fikirnya untuk mencari dan menemukan cara agar keluarganya dapat hidup didalam keluarga bahagia dan badannya yang terbongkok agar dapat membuktikan, bahawa sebagai lelaki yang bertanggungjawab terhadap seluruh keluarganya, senantiasa berusaha mencurahkan sekuat tenaga serta segenap perasaannya, kekuatannya, kesungguhannya demi kelanjutan hidup keluarganya."

"Ku berikan kepada lelaki tanggungjawab penuh sebagai pemimpin keluarga, sebagai tiang penyangga ( seri / penyokong ), agar dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Dan hanya inilah kelebihan yang dimiliki oleh lelaki, walaupun sebenarnya tanggungjawab ini adalah amanah di dunia dan akhirat."

Terkejut si anak dari tidurnya dan segera dia berlari, berlutut dan berdoa hingga menjelang subuh. Setelah itu dia hampiri bilik ayahnya yang sedang berdoa, ketika ayahnya berdiri si anak itu menggenggam dan mencium telapak tangan ayahnya.

"Aku mendengar dan merasakan bebanmu, ayah."


Moral:

Bila ayah anda masih hidup jangan sia-siakan kesempatan untuk membuat hatinya gembira. Bila ayah anda telah tiada, jangan putuskan tali siratulrahim yang telah dirintisnya dan doakanlah agar Tuhan selalu menjaganya dengan sebaik-baiknya.


4 ( Empat ) Kunci Kata Santun

Dalam pergaulan sehari hari tentunya kita berusaha bersikap sopan kepada siapa saja. Sikap sopan wajib dilakukan oleh orang dalam bertutur kata. Tidaklah berat bila kita mengucapkannya sebagai dasar cara berkaul kita dan bertutus kata. Malah akan mendapatkan simpati dari orang lain. 4 kunci kata santun yakni :
1. Salam.
2. Maaf.
3. Tolong.
4. Terima kasih
Nah, tidak asing lagi bagi kita bukan ? Tidak perlu diuraikan satu persatu maknanya, yang penting dapat kita lakukan sehari hari dalam berkomunikasi maupun bertutur kata. Tidak usah gengsi, karena manusia tidak ada yang sempurna.Oke... Selamat menjadi orang yang dapat menghargai diri sendiri dan orang lain.

Sumber :/http://idashinsetsuinsomnisa.blogspot.com/
  



Air Mata Malam Pengantin 


Hatiku bercampur baur antara kegembiraan, kesedihan dan kehibaan. Terlalu sukar untuk kugambarkan
perasaan hatiku tatkala ini. Sanak saudara duduk mengelilingiku sambil memerhatikan gerak geri
seorang lelaki yang berhadapan dengan bapaku serta tuan imam.
Hari ini adalah hari yang cukup bermakna bagi diriku. Aku akan diijab kabulkan dengan seorang lelaki
yang tidak pernak kukenali pilihan keluarga. Aku pasrah. Semoga dengan pilihan keluarga ini beserta
dengan rahmat Tuhan. Bakal suamiku itu kelihatan tenang mengadap bapaku, bakal bapa mentuanya.
Mereka berkata sesuatu yang aku tidak dapat mendengar butir bicaranya. Kemudian beberapa orang
mengangguk-angguk. Serentak dengan itu, para hadirin mengangkat tangan mengaminkan doa yang
dibacakan lelaki itu.
Ana dah jadi isteri! Bisik sepupuku sewaktu aku menadah tangan. Tidak semena-mena beberapa titis air
mata gugur keribaanku. Terselit juga hiba walaupun aku amat gembira. Hiba oleh kerana aku sudah
menjadi tanggungjawab suamiku. Keluarga sudah melepaskan tanggungjawab mereka kepada suamiku
tatkala ijab kabul.
Ya Allah! Bahagiakanlah hidup kami. Kurniakanlah kami zuriat-zuriat yang menjadi cahaya mata dan
penyeri hidup kami nanti. Doaku perlahan.
Aku bertafakur sejenak. Memikirkan statusku sekarang. Aku suadh bergelar isteri. Sudah tentu banyak
tanggungjawab yang perlu aku tunaikan pada suamiku dan pada keluarga yang aku dan suamiku bina
nanti.
Mampukah aku memikul tanggungjawab ini nanti? Tiba-tiba sahaja soalan itu berdetik di hati.
Kadang-kadang aku rasakan seolah-olah aku tidak dapat melaksanakan tanggungjawab seorang isteri
terhadap suami.
Assalamualaikum! Sapa suatu suara yang mematikan tafakur tadi. Baru aku perasan, seorang lelaki
berdiri betul-betul di hadapanku. Aku masih tidak mampu untuk mendongak, melihat wajahnya itu. Aku
berteleku melihat kakinya.
Sanak saudara yang tadi bersama-samaku, kini membukakan ruang buat lelaki itu mendekatiku. Aku
tambah gementar bila dibiarkan sendirian begini. Tanpa kusangka, dia duduk menghadapku.
Sayang.! Serunya perlahan. Suaranya itu seolah membelai dan memujuk jiwaku supaya melihat
wajahnya.
Aku memaksa diriku untuk mengangkat muka, melihat wajahnya. Perlahan-lahan dia mencapai tangan
kiriku, lalu disarungkan sebentuk cincin emas bertatahkan zamrud kejari manisku.
Abang! Seruku perlahan sambil bersalam dan mencium tangan lelaki itu yang telah sah menjadi suamiku.
Ana serahkan diri Ana dan seluruh kehidupan Ana kepangkuan abang. Ana harap, abang akan terima
Ana seadanya ini seikhlas hati abang.. Bisikku perlahan. Kita akan sama-sama melayari hidup ini dan
akan kita bina keluarga yang bahagia. Janjinya padaku.
Itulah kali pertama aku menemui suamiku itu. Aku tidak pernah melihatnya selain daripada sekeping
foto yang telah diberikan emak kepadaku.
Kenduri perkahwinan kami diadakan secara sederhana sahaja. Namun meriah dengan kehadiran sanak
saudara terdekat dan sahabat handai yang rapat. Senang sikit, tak payah berpenat lelah. Sibuk juga aku
dan suamiku melayani para tetamu yang hadir ke majlis itu.
Ramai juga teman-teman suamiku yang datang. Mereka mengucapkan tahniah buat kami berdua. Tak
sangka, suamiku punyai ramai kawan. Katanya, kawan-kawan sejak dari universiti lagi.
Pada pandanganku, suamiku itu memang seorang yang segak. Berbaju melayu putih sepasang serta
bersampin. Aku juga memakai baju pengantin putih. Kami dah berpakat begitu.
Aku selalu berdoa pada Tuhan agar Dia kurniakan padaku seorang suami yang dapat membimbing dan
menunjukkan aku jalan ketuhanan. Mengasihi aku sebagai seorang isteri. Tidak kuminta harta mahupun
pangkat, cukuplah sekadar aku bahagia bersamanya dan dia juga bahagia denganku. Aku juga sering
berdoa agar dikurniakan zuriat yang dapat membahagiakan kami.
Ana, ada perkara penting yang mak dan ayah nak bincangkan dengan Ana. Ayah memulakan
mukadimah bicaranya di suatu petang sewaktu kami minum petang di halaman rumah. Mak hanya diam
memerhatikan aku, membiarkan ayah yang memulkan bicaranya.
Apa dia ayah, mak? Macam penting je. Soalku tanpa menaruh sebarang syak wasangka.
Sebenarnya, kami telah menerima satu pinangan bagi pihak Ana.
Apa!!! Pengkhabaran begitu membuatkan aku benar-benar terkejut. Aku masih belum berfikir untuk
mendirikan rumah tangga dalam usia begini. Aku mahu mengejar cita-citaku terlebih dahulu. Aku tidak
mahu terikat dengan sebarang tanggungjawab sebagai seorang isteri.
Kenapa ayah dan mak tak bincang dengan Ana dulu?! Soalku agak kecewa dengan keputusan mak dan
ayah yang membelakangi aku. Sepatutnya mereka berbincang denganku terlebih dulu sebelum membuat
sebarang keputusan yang bakal mencorakkan masa depanku.
Kami tahu apa jawapan yang akan Ana berikan sekiranya kami membincangkan perkara ini dengan Ana.
Pastinya Ana akan mengatakan bahawa Ana masih belum bersedia. Sampai bilakah Ana akan berterusan
begitu? Ayah mengemukakan alasannya bertindak demikian.
Sebagai orang tua, kami amat berharap agar anak kesayangan kami akan mendapat seorang suami yang
boleh melindungi dan membimbing Ana. Ujar mak setelah sekian lama membisu.
Apakah Ana fikir mak dan ayah akan duduk senang melihat anak gadisnya berterusan hidup sendirian
tanpa penjagaan dari seorang suami? Kami bukan nak lepaskan tanggungjawab kami sebagai orang tua,
tapi itulah tanggungjawab orang tua mencarikan seorang suami yang baik untuk anak gadisnya. Terang
ayah lagi.
Ana! Seru ayah setelah dia melihat aku mendiamkan diri, menahan rasa.
Percayalah, kami membuat keputusan ini adalah untuk kebaikan Ana sebab kami terlalu sayangkan Ana.
Ini cincinnya, pakailah. Mak meletakkan satu kotak kecil berbaldu di hadapanku. Perasaanku berbaur.
Macam-macam yang datang. Berbelah bagi. Apa yang patut aku lakukan sekarang. Sekiranya aku
menerima dan bersetuju dengan keputusan mak dan ayah itu, bermakna aku telah membiarkan citacitaku
semakin kabur dan berbalam di hadapan. Namun kiranya aku menolak, bermakna aku telah
melukakan hati kedua-dua orang tuaku itu. Orang tua yang telah banyak berjasa dalam hidupku. Tanpa
mereka berdua, aku takkan hadir dan mustahil untuk melihat dunia ini.
Ahhhhgggg.. Keluhku sendirian. Aku dalam dilemma. Yang manakah patut aku utamakan? Perasaan
sendiri atau perasaan dan harapan mak dan ayah. Aku selalu tewas bila melibatkan perasaan mak dan
ayah. Aku terlalu takut untuk melukakan hati mereka. Aku takut hidupku nanti tidak diberkati Tuhan.
Azan maghrib yang berkumandang mengejutkan aku dari lamunan. Dah masuk waktu maghrib rupanya.
Masih banyak lagi barang-barang yang belum dikemaskan. Penat juga nak kemaskan semua ni.
Nanti kite kemas lepas ni. Mari solat maghrib dulu. Ujar ayah padaku.
Adik-adik sibuk bentangkan tikar dan sejadah di ruang solat. Begitulah selalunya apabila kami
berkumpul. Solat berjemaah adalah saru agenda yang tidak boleh dilupakan.
Semua orang telah siap sedia menunggu sewaktu aku keluar dari berwudhuk di bilik air. Aku cepatcepat
mengenakan telekung dan memasuki saf bersama emak, kakak dan adik.
Selesai je iqamah, ayah memberikan penghormatan kepada suamiku untuk menjadi imam. Dia kelihatan
serba salah dengan permintaan ayah itu. Dia merenung ke arahku. Aku hanya mengangguk sebagai
isyarat supaya dia memenuhi permintaan ayah itu. Maka dengan tenang, dia mengangkat takbir. Menjadi
imam solat maghrib kami pada malam itu.
Betapa hatiku tenang sekali menjadi makmumnya. Dengan bacaan yang jelas dan merdu itu
membuatkan aku berasa kagum dengan suamiku itu. Mungkin tepat pilihan ayah dan mak buatku.
Bacaannya lancar lagi fasih. Bagaikan seorang arab yang menjadi imam.
Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau mengirakan kami salah jika kami terlupa atau tersilap. Wahai
Tuhan kami! Janganlah Engkau bebankan kami dengan bebanan yang berat sebagaimana yang telah
Engkau bebankan kepada orang-orang yang terdahulu daripada kami. Wahai Tuhan kami! Jangan
Engkau pikulkan kepada kami apa-apa yang tidak terdaya kami memikulnya. Dan maafkanlah kesalahan
kami serta ampunkanlah dosa kami dan berilah rahmat kepada kami.
Wahai Tuhan kami! Kurniakanlah kami daripada isteri dan suami serta zuriat keturunan yang boleh
menjadi cahaya mata buat kami dan jadikanlah kami daripada golongan orang-orang yang muttaqin.
Dia membaca doa dengan khusyuk memohon kepada Tuhan setelah selesai solat. Kami bersalaman. aku
mendekati suamiku sambil menghulurkan tangan.
Bang, maafkan Ana! Bisikku perlahan sewaktu mencium tangannya. Dia kemudiannya mengucupi
dahiku sebagai tanda kasih yang tulus.
Sayang tak ada apa-apa salah dengan abang. Ujarnya sambil tersenyum merenung wajahku.
Selepas berwirid dan berzikir, dia bangun menuju ke halaman rumah.
Abang nak kemana tu? Soalku.
Nak kemaskan barang-barang kat bawah tu. Ada sikit lagi. Jawabnya.
Dah la tu. Rehat jelah. Esok kita boleh sambung lagi. Aku kesian melihatnya, keletihan.
Betul kata Ana tu Zul. Sambung esok sajalah. Sampuk ayah yang tiba-tiba mendengar perbualan kami.
Emak pun mengangguk menyetujui sarananku itu.
Takpelah ayah, Ana. Sikit aje tu. Kejap je saya buatnya. Dia masih berkeras sambil berlalu turun ke
halaman rumah untuk mengemas beberapa peralatan yang masih lagi berada di bawah khemah.
Aku menukar pakaian, kemudian keluar membantu suamiku mengemas barang-barang di halaman
rumah. Dia kelihatan asyik tanpa menyedari kehadiranku. Semua barang-barang telah dikemasnya. Aku
mencapai kain pengelap dan mula mengelap meja.
Bila Ana turun? Soalnya apabila menyedari aku sedang mengelap meja.
Baru aje. Asyik sangat abang buat kerja sampai tak sedar Ana datang.
Maafkan abang sayang. Dia menghampiriku.
Sayang tak marahkan? Soalnya lagi sambil memeluk pinggangku erat.
Aku merenungnya, kemudian mengeleng-ngeleng sebagai tanda aku tak ambil hati pun pasal tu. Dia
tersenyum sambil menghadiahkan satu ciuman di pipiku.
Ishabang ni! Nanti dilihat orang, malu kita. Rungkutku tersipu-sipu. Nanti malu juga kalau dilihat oleh
ahli keluargaku.
Apa nak malu, kan sayang ni isteri abang. Jawabnya tersenyum.
Tau la, tapi tengok la keadaan dan tempat. Kalau kita berdua saja, lebih dari cium pun Ana bagi.
Betul ni? Soal suamiku cepat-cepat.
Ishgatal la abang ni! Dia cuba mengelak dari menjadi mangsa cubitan tanganku.
Aku terasa bahagia disayangi begini. Inilah pertama kali dalam hidupku merasai betapa nikmatnya cinta
dan kasih sayang seorang kekasih hati yang aku sayangi. Aku tidak pernah terlibat dengan cinta
walaupun semasa aku di universiti dulu. Dan pada tika ini, aku akan menikmatinya selepas perkahwinan.
Cinta seorang suami terhadap seorang isteri.
Walaupun begitu,masih ada sedikit rasa takut di hatiku. Aku takut aku tidak mampu untuk menunaikan
tanggungjawab sebagai seorang isteri. Aku takut aku tidak mampu untuk menjadi seorang isteri yang
solehah dan mulia dalam hidup suamiku.
Apa yang Ana menungkan ni? Soalan itu mengejutkan aku dari lamunan. Aku berehat sekejap di atas
kerusi batu dalam taman di halaman rumah setelah selesai mengemas barang-barang.
Abang ni, terkejut Ana tau! Aku buat-buat merajuk. Saja nak menduga bagaimana suamiku memujuk.
Alaa.sayang ni.macam tu pun nak marah. Usiknya sambil mencubit pipiku.
Nampak gayanya terpaksalah abang tidur bawah katil dengan nyamuk-nyamuk malam ni sebab isteri
abang dah merajuk. Kesian kat abang yea..! Aku mula tersenyum dengan kata-kata suamiku itu. Pandai
juga suamiku buat lawak nak memujuk aku.
Sayang.! Seru suamiku sambil merangkul tubuhku.
Sayang nak honeymoon kemana? Tak terfikir pulak akau pasal honeymoon tu. Aku pun tak ada apa-apa
plan atau cadangan pasal tu.
Ana ikut aje kemana abang nak bawa.
Kalau abang bawa ke bulan atau bintang, sayang nak ikut ke? Guraunya.
Banyak ke duit abang nak bayar tambang roket dan nak beli set bajunya nanti? Soalanku itu
membuatkan suamiku pecah ketawa.
Nanti sayang nak berapa orang anak? Soalnya lagi setelah ketawanya reda.
Abang nak berapa? Soalku kembali tanpa menjawab soalannya.
Abang nak sebanyak mungkin. Larat ke sayang nanti?
Ish..abang ni. Abang ingat Ana ni kilang anak ke? Sekali lagi suamiku ketawa. Nampaknya dia adalah
orang yang mudah ketawa.
Takdelah macam tu. Tapi abang suka kalau kita ada anak yang ramai. Sama banyak lelaki dan
perempuan.
Insya Allah, kalau ada rezeki nanti Ana sanggup. Penjelesanku itu membuatkan suamiku tersenyum
gembira.
Ni yang buat abang tambah sayang ni. Satu lagi kucupan mesra singgah di pipiku.
Aku terasa bahagia diperlakukan begitu. Aku punyai suami yang baik dan penyayang. Aku rasa
dilindungi.
Zul, Ana! Jom kita makan dulu! Suara mak memanggil.
Mari bang! Ana pun dah lapar ni. Ajakku sambil memimpin tangannya. Kami bangun beriringan masuk
ke dalam rumah untuk menghadapi hidangan makan malam.
Rasa lapar la juga kerana sejak tadi lagi asyik layan tetamu dan buat kerja aje sampai lupa untuk makan.
Seronok sangat dengan kahadiran kawan-kawan rapat serta gembira dianugerahi seorang suami yang
baik.
Sudah beberapa hari aku asyik memikirkan pasal pertunanganku. Terlalu sukar untuk aku menerimanya.
Tambah lagi dengan lelaki yang tidak pernah kukanali. Perkahwinan bukanlah sesuatu yang boleh
diambil mudah. Kehidupan yang memerlukan persefahaman sepanjang hidup. Tanpa persefahaman dan
tolak ansur, mustahil dua jiwa dan dua hati boleh bersatu dalam menjalani hidup sebagai suami isteri.
Tidak sedikit cerita yang aku dengar tentang rumah tangga yang hanya mampu betahan buat seketika
atau separuh jalan sahaja. Kemudian pecah berkecai umpama kapal dipukul badai. Berselerak dan
bertaburan. Apataha lagi kalau dah dikurniakan anak. Anak-anak akan jadi mangsa keadaan.
Mampukah akau menerima suamiku nanti sepenuh hatiku? Mampukah aku menyediakan seluruh ruang
isi hatiku ini buat suamiku itu? Bahagiakah aku bila bersamanya nanti? Bertalu-talu persoalan demi
persoalan menerjah benak fikiranku. Aku rasa amat tertekan dengan keadaan ini. Bukan aku tak fakir
pasal rumah tangga, tapi aku masih belum bersedia untuk melaluinya.
Ya Allah, bantulah aku dalam membuat keputusan. Tunjukkanlah aku jalan penyelesaian. Janganlah
Engkau biarkan aku sendirian dalam menentukan masa depan hidupku.
Ya Allah, aku benar-benar tersepit antara kehendak orang tuaku dan persaan hatiku sendiri. Kiranya ia
baik buatku, maka berilah aku redha dalam menerimanya wahai Tuhan.
Indahnya kuperhatikan suasana kamarku. Aku sendiri yang menghiasinya. Kamar malam pertamaku
bersama seorang lelaki yang bergelar suami. Kamar yang akan menjadi saksi bisu bila mana aku
menyerahkan khidmatku pada seorang suami. Kegusaran dan sedikit gentar mula bertandang dalam
sanubari. Aku rasa takut sendirian untuk melalui keindahan malam pertama ini. Bagaimanakah akan
melayani suamiku nanti?
Ketukan pada pintu bilik membuatkan hatiku bertambah gusar. Dari tadi lagi aku hanya duduk di birai
katil.
Masuklah, pintu tak berkunci. Aku bersuara perlahan. Aku pasti, itu adalah suamiku.
Dia masuk, kemudian menutup pintu bilik kami dengan perlahan. Dia kemudiannya menghampiri dan
duduk di sisiku.
Kenapa asyik termenung aje ni? Sayang tak gembirakah bersama abang? Aku tak menyangka soalan itu
yang diajukan oleh suamiku tatkala ketakutan di malam pertama begitu membanjiri jiwaku.
Aku hanya mampu mengeleng-ngeleng. Aku sendiri tak tahu apa jawapan yang terlebih baik untuk
soalan suamiku itu.
Habistu apa yang sayang menungkan ni?
Ana takut bang! Itulah aku rasa jawapan yang tepat bagi menjawab soalannya.
Dia memelukku erat sambil membelai rambutku.
Apa yang nak ditakutkan? Abangkan ada. Abang akan Bantu dan tolong sayang. Kita sama-sama bina
keluarga kita. Pujuk suamiku.
Ana takut Ana tak mampu untuk menjalankan tugas sebagai isteri abang. Ana banyak kelemahan bang.
Ana takut nanti Ana akan mengecewakan abang. Ana takut.. Aku tidak sempat untuk meneruskan katakataku
kerana suamiku telah meletakkan telunjuknya di bibirku tanda tidak membenarkan aku
menghabiskan bicaraku. Terkebil-kebil mataku memandangnya.
Sayang, abang terima sayang sebagai isteri abang seadanya. Abang terima segala kelebihan dan
kekurangan yang ada pada sayang. Usahlah sayang risaukan pasal itu. Ok sayang! Bisiknya.
Aku memeluknya syahdu di atas penerimaannya terhadapku.
Sayang, abang nak mandi kejap. Badan ni dah rasa macam melekit. Aku bangun membuka almari
pakaian dan mencapai sehelai tuala serta kain pelikat. Kuhulurkan kepadanya dengan penuh kasih
sayang.
Dia tersenyum kepadaku dan mencium pipiku sebelum berlalu ke bilik air. Kemudian aku terdengar
siraman air terjun ke lantai.
Malam berarak perlahan. Langit kelihatan gelap pekat tanpa bulan dan bintang. Mungkin sekejap lagi
hujan akan mencurah, membasahi bumi yang sudah beberapa hari merindui titis air untuk membajai
ketandusannya.
Ayah, mak! Ana dah buat keputusan. Beritahuku sewaktu kami sedang berehat di beranda rumah pada
suatu hari.
Ayah yang sedang membaca akhbar dan emak yang sedang menyulam tiba-tiba memandangku serentak,
kemudian berpaling sesama sendiri.
Keputusan tentang apa? Soal ayah inginkan kepastian. Mungkin mereka tertanya-tanya keputusan
apakah yang telah kubuat.
Pasal peminangan tu. Ujarku.
Ayah dan emak kembali merenungku. Mereka memberikan perhatian kepada apa yang bakal aku
beritahu. Keputusan yang telah kubuat setelah berfikir baik dan buruknya. Keputusan yang bakal
menentukan masa depan arah perjalanan hidupku.
Kiranya ini takdir Tuhan, maka Ana redha dengan jodoh yang ayah dan emak pilih. Terasa pilu sekali
hatiku sewaktu meluahkannya. Ada sedikit titis jernih jatuh ke riba. Aku mengesatnya dengan hujung
jari.
Emak bangun dan memelukku. Aku tidak tahu apakah ertinya pelukan emak itu. Pelukan gembira oleh
kerana aku menerima pilihan mereka atau pelukan untuk menenangkan jiwaku yang sedang berkecamuk
dan sedih ini? Hanya emak yang tahu hakikatnya.
Syukurlah, moga Ana bahagia nanti. Ucap ayah padaku.
Aku terpaksa berkorban demi untuk melihat senyuman di bibir ayah dan emak walaupun hatiku sendiri
terpaksa menangis. Tapi adalah terlebih baik bagiku memakan hatiku sendiri daripada memakan hati
orang tua ku.
Nanti mak kenalkan dia pada Ana. Ujar emak sambil tersenyum kerana keputusanku memihak kepada
mereka.
Tak payahlah mak. Kenalkan pada Ana di hari perkahwinan tu aje. Aku rasa lebih baik demikian kerana
selepas ijab Kabul aku sudah tidak punyai pilihan lain selain daripada menerima walaupun dengan
terpaksa lelaki pilihan ayah dan emak ku itu sebagai suamiku. Aku tidak mahu pertemuan sebelum ijab
kabul nanti akan menyebabkan aku berbelah bagi dengan keputusan yang telah aku buat.
Kenapa pula macam tu? Kan lebih baik kalau Ana berkenalan dahulu dengannya. Ayah mempersoalkan
keputusanku itu.
Ana telah memenuhi kehendak ayah dan mak dengan menerima pilihan ayah dan mak. Tak bolehkah
ayah dan mak memenuhi permintaan dan kehendak Ana pula? Aku berlalu meninggalkan mereka dalam
keadaan tercengang dengan permintaan ku itu.
Aku siapkan kamar tidur seadanya. Aku letakkan pakaian persalinan buat suamiku di atas katil. Aku
menunggunya keluar dari bilik air. Aku sendiri telah bersiap-siap menukar pakaian malam menanti
suamiku itu dengan penuh debaran. Kedengaran pintu bilik air dibuka. Dia keluar sambil tersenyum ke
arahku.
Sayang, boleh tak ambilkan abang segelas air. Dahagalah. Pintanya sambil mengelap-ngelap badannya
dengan tuala di tangan.
Baik bang. Bang, ni baju abang. Ujarku sambil bangun untuk ke dapur.
Sewaktu aku keluar, lampu di ruang tamu semuanya telah dipadamkan. Kulihat jam dah dekat pukul 1
pagi.
Patutlah. Bisik hatiku. Aku meneruskan langkahku ke dapur dalam smar-samar cahaya bilik yang masih
lagi terpasang.
Kupenuhkan labu sayung dengan air masak dan ku capai sebiji gelas. Aku membawa kedua-duanya
menuju ke bilik.
Suasana malam agak sunyi. Tiada bunyi cengkerik atau cacing tanah. Cuma kat luar sana kadangkadang
langit kelihatan cerah diterangi cahaya kilat memancar. Malam yang pekat bakal mencurahkan
hujan.
Sewaktu aku melangkah masuk ke bilik, kelihatan suamiku sedang khusyuk berdoa atas sejadah.
Mulutnya terkumat kamit tanpa kutahu butir bicaranya.
Kutuangkan air kedalam gelas dan kuletakkan atas meja menanti suamiku selesai berdoa. Kemudian dia
bangun menghampiriku. Aku menghulurkan gelas air kepadanya.
Bang. Seruku.
Ada apa sayang? Soalnya apabila melihat aku tersipu-sipu kearahnya.
Malam ni abang nak.nak.. Agak segan untuk kuteruskan pertanyaan itu. Suamiku masih lagi menanti
persoalan yang kutanya.
Nak apa sayang? Soalnya lagi sambil tersenyum.
Ah.abang ni. Aku malu sendirian apabila melihat suamiku seolah-olah dapat membaca fikiranku.
Ya, abang nak sayang layan abang malam ni. Boleh tak? Bisiknya ketelingaku.
Aku hanya mampu mengangguk-angguk tanda bersedia untuk melayani segala kehendak dan
kemahuannya. Aku cuba untuk mempersiapkan diri sebagai seorang isteri yang mampu menyediakan
dan memenuhi segala keperluan dan kemahuan suamiku itu.
Assalamualaikum, wahai pintu rahmat! Bisik suamiku.
Waalaikumussalam wahai tuan pemilik yang mulia. Jawabku.
Malam yang gelap kehitaman itu kulaluinya bertemankan seorang lelaki yang telah kuserahkan
kepadanya seluruh jiwa dan ragaku ke dalam tangannya. Dia berhak segala-galanya keatasku. Sebagai
seorang isteri, aku mesti sentiasa patuh kepada segala arahan dan suruhannya selagi mana ia tidak
bercanggah dengan ketetapan Tuhan dan Rasul.
Pertama kali kulalui dalam hidupku, malam bersama seorang lelaki yang telah dihalalkan aku keatasnya.
Aku umpama lading dan suamiku itu adalah peladang. Ia berhak mendatangiku mengikut sekehendak
hatinya. Aku telah membaca beberapa buah buku tentang alam perkahwinan, rumahtangga dan
tanggungjawab seorang isteri apabila aku menerima pilihan emak dan abah terhadapku. Aku cuba untuk
memperaktikkannya selagi aku termampu untuk melakukannya. Aku cuba menjadi yang terbaik bagi
suamiku. Aku ingin suamiku bahagia bersamaku. Aku ingin menjadi permaisuri yang bertahta di hati
dan jiwanya sepanjang usia hayatnya.
Rasulullah bersabda:
Sebaik-baik isteri itu ialah yang dapat menenangkan kamu apabila kamu melihatnya dan taat kepada
kamu apabila kamu perintah dan memelihara dirinya dan menjaga hartamu apabila kamu tiada.
Rasulullah bersabda:
Setiap wanita itu adalah pengurus sebuah rumahtangga suaminya dan akan ditanyakan hal urusan itu.
Rasulullah bersabda:
Isteri yang mulia ini merupakan sesuatu yang terbaik di antara segala yang bermanfaat di dunia.
Rasulullah bersabda:
Sesungguhnya wanita yang baik itu adalah wanita yang beranak, besar cintanya, pemegang rahsia,
berjiwa kesatria terhadap keluarganya, patuh terhadap suaminya, pesolek bagi suaminya, menjaga diri
terhadap lelaki lain, taat kepada ucapan suaminya dan perintahnya, dan apabila bersendirian dengan
suaminya, dia pasrahkan dirinya kepada kehendak suaminya itu.
Sesungguhnya perkahwinan ataupun rumahtangga itu bukanlah sesuatu yang boleh dipandang remeh
atau yang boleh dipermain-mainkan. Ia adalah suatu ikatan yang menghalalkan yang haram sebelumnya.
Ia memerlukan persefahaman, tolak ansur, saling mempercayai, tolong menolong, kasih mengasihi
seikhlas hati dan sebagainya. Tanpa itu semua, mana bisa dua jiwa yang berlainan sifat dan sikap
mampu mengharungi sebuah kehidupan yang penuh dengan dugaan ini bersama-sama. Ia amat mustahil
sekali.
Maka seharusnya kita perlu mempersiapkan diri sebelum memasuki gerbang perkahwinan dengan
pelbagai ilmu. Ilmu kekeluargaan, ilmu keibu bapaan, psikologi kanak-kanak dan sebagainya. Jangan
cuba untuk menghampirinya selagi mana kita belum benar-benar bersedia untuk menghadapinya. Jangan
kita fikirkan tentang nafsu semata-mata. Fikirkan sama tentang tanggungjawab yang bakal kita pikul
nanti. Tanggungjawab sebagai seorang suami ataupun isteri, tanggungjawab sebagai seorang bapa
ataupun ibu. Mampukah kita semua memenuhi atau menunaikan tanggungjawab dan tuntutan itu. Kita
pastinya akan dipersoalkan tentang pertanggungjawaban itu. Sama ada di dunia mahaupun di hadapan
Tuhan nanti. Kerana tanggungjawab itu adalah amanah
yang perlu ditunaikan oleh setiap orang.
Bunyi batuk yang berlarutan menyebabkan aku tersedar dari tidur istimewaku malam ini. Sewaktu aku
membuka mata, aku lihat suamiku sedang bersimpuh diatas sejadah. Dia mengurut-urut dadanya
menahan batuk. Aku bingkas bangun, turun dari katil dan menghampirinya.
Abang tak apa-apa? Soalku risau dengan keadaannya. Aku mula risau, takut-takut suamiku itu
mempunyai penyakit-penyakit tertentu yang tidak aku ketahui.
Abang ok je. Mungkin sejuk sikit kot. Jelasnya. Mungkin juga. Hawa dinihari itu sejuk sebab hujan
masih lagi bergerimis selepas mencurah lebat semalam.
Pergilah mandi, ayah dan semua orang sedang menunggu kita untuk berjemaah di luar tu. Arah suamiku
sambil tersenyum merenungku dengan pajama itu. Aku malu sendirian bila mata suamiku menyorot
memerhati seluruh tubuhku itu.
Nakallah abang ni. Aku bangun mencapai tuala dan terus ke bilik air untuk mandi. Aku masih lagi
terdengar batuk-batuk dari luar.
Ayah mahu suamiku mengimami solat subuh itu, tapi suamiku menolak dengan alasan dia batuk-batuk
dan tak berapa sihat. Namun ayah masih berkeras, maka terpaksalah dia menjadi imam.
Kesian aku melihatnya. Bacaannya tidak selancar semalam. Banyak tersangkut dan terpaksa berhenti
atau mengulanginya kerana asyik batuk-batuk sahaja. Aku mula risau lagi dengan keadaan begitu.
Selepas beriwirid pendek, dia membacakan doa dengan perlahan tapi masih boleh didengari oleh semua
ahli keluargaku. Aku lihat muka suamiku agak kepucatan.
Kenapa ni bang? Soalku sewaktu bersalaman dengannya.
Entahlah, abang rasa kurang sihat sikit pagi ni.
Zul sakit ke? Tanya ayah.
Takdelah, cuma kurang sihat sikit. Mungkin sebab cuaca kot. Jawabnya.
Elok makan ubat, nanti takut melarat pulak. Sampuk mak.
Nanti Ana ambilkan ubat. Aku bangun ke dapur untuk mengambil ubat dalam rak ubat.
Ubat-ubatan asas sentiasa tersimpan dalm rak ubat di rumahku. Ini bagi memudahkan bagi tujuan
rawatan segera kalau ada apa-apa berlaku. Aku ambil sebotol ubat batuk dan segelas air.
Suamiku sudah masuk ke bilik. Batuknya agak berkurangan sedikit dari tadi. Mungkin betul juga ia ada
kaitan dengan keadaan cuaca yang sejuk. Dia menghirup sirap batuk yang kusuapkan.
Terima kasih. Ucapnya perlahan. Aku angguk.
Abang berehatlah. Ujarku sambil membaringkan badannya ke atas tilam.
Abang minta maaf kerana menyusahkan sayang.
Kenapa pula abang cakap macam tu. Sikit pun Ana tak rasa susah.
Abang tahu sayang susah hati tengok abang begini. Sepatutnya hari pertama begini, abang kena
membahagiakan sayang. Tapi abang minta maaf sebab keadaan abang tak mengizinkan.
Dahla tu bang. Ana isteri abang. Ana sentiasa bersedia berkhidmat untuk abang tanpa sedikit pun rasa
susah. Pujukku walaupun sebenarnya hatiku memang runsing dengan keadaannya.
Walau apapun yang berlaku, abang tetap sayang dan cintakan saying. Sayanglah satu-satunya buah hati
abang. Sambung suamiku tanpa menghiraukan nasihatku supaya dia berehat saja.
Entah kenapa tiba-tiba sahaja hatiku dilanda kesedihan. Entah darimana ia berputik.
Abang minta maaf atas segalanya. Sayang maafkan abang yea!
Abang nak tidur dulu. Mengantuk rasanya. Ujarnya perlahan.
Abang tidurlah. Aku menarik selimut untuk menyelimutinya. Aku menciumi dahinya. Sekejap sahaja dia
terlena selepas mulutnya terkumat kamit membacakan sesuatu.
Aku memerhatikan suamiku buat seketika. Tidurnya kelihatan tenang dengan susunan nafas yang
teratur. Aku suka melihat wajahnya yang memberikan ketenangan buatku. Wajahnya yang agak bersih
dihiasi dengan kumis dan jambang yang nipis dan terjaga. Aku berdoa dan berharap agar kurniaan
Tuhan ini akan berkekalan bersamaku hingga ke akhir hayat.
Namun segala-galanya telah ditentukan Tuhan. Hidup, mati, rezeki, baik dan buruk seseorang hamba itu
telah ditentukan Tuhan semenjak ia berada dalam kandungan ibunya lagi. Maka aku sebagai seorang
hamba yang lemah terpaksa menerima segala kehendaknya dengan redha dan tenang. Siapa tahu, ruparupanya
itulah hari pertama dan terakhir aku bersama suamiku yang baru aku kenali itu. Aku hanya
mengenalinya seketika sahaja, namun dia telah meninggalkan aku buat selama-lamanya. Aku belum
sempat untuk menjalankan tugasan sebagai isteri dengan sepenuhnya. Apalagi yang dapat aku lakukan.
Patutlah dia asyik memohon maaf dariku.
Sewaktu aku ingin mengejutkannya untuk bersarapan, berkali-kali aku cuba memanggil namanya.
Namun dia masih tak menjawab. Aku menggoncang tubuhnya, tetapi tetap tak ada respon. Aku sentuh
tangannya, sejuk. Aku memeriksa nadi dan denyutan jantungnya. Senyap! Air mataku terus je mengalir
tanpa dapat ditahan lagi. Menangisi kepergian seorang suami. Aku tersedu-sedu sewaktu semua ahli
keluarga masuk kebilik untuk melihat apa yang berlaku setelah terlalu lama aku cuba mengejutkan
suamiku itu. Tapi rupanya hanyalah jasad yang terbujur kaku.
Sudahlah Ana, bersyukurlah kerana masih ada lagi pusaka tinggalannya buat Ana. Pujuk emak.
Aku hanya mampu tersenyum dengan pujukan emak itu sambil memandang wajah seorang bayi lelaki
yang sedang nyenyak tidur disebelahku. Itulah takdir Tuhan, malam pertama yang telah membuahkan
hasil. Walaupun hanya pertama, tapi itulah panglima yang menang dalam pertarungan bagi menduduki
rahimku ini. Hari ini, zuriat suamiku itu telah menjengok dunia ini. Satu-satunya pusaka yang tidak ada
nilai buatku selain sebuah rumah yang telah diwasiatkan oleh suamiku buatku.
Ya Allah, tempatkanlah rohnya bersama golongan yang soleh. Ya Allah, rahmatilah anakku ini.
Jadikanlah dia umpama bapanya yang sentiasa taat kepadamu. Jadikanlah ia berjasa kepada perjuangan
dalam menegakkan agamamu. Jadikanlah ia sebagai permata yang membahagiakan aku dan seluruh
keluargaku.
Amin..